Tuesday, December 22, 2009

terima kasih

Terima Kasih


Namaku Silfi. Aku lahir di sebuah keluarga yang bisa dikatakan sederhana. Ayahku telah lama meninggal saat aku berumur 3 tahun. Ibuku bekerja sebagai penjahit keliling. Terkadang aku berpikir tentang masa depanku. Aku tidak ingin nantinya aku menjadi penjahit sama seperti ibuku. Untuk itu, aku sedapat mungkin sekolah setinggi-tingginya.. Aku ingin menjadi arsitek ternama. Selain itu, aku ingin pula membahagiakan ibuku yang telah merawat aku dari buaian. Tetapi nasib berkata lain, rumah dan perlengkapan jahit ibu terbakar. Aku tak tahu kenapa itu bisa terjadi. Kebakaran itu terjadi sewaktu aku menginap di rumah temanku untuk mengerjakan makalah kesenian. Untungnya ibuku selamat. Aku bahagia sekali karena tidak ada yang paling penting selain ibuku.
Setelah aku minta ijin ke sekolah untuk tidak masuk selama 4-5 hari, akhirnya aku dan ibuku harus mencari tempat bernaung yang baru. Tidak besar dan tidak juga kecil, tapi cukuplah. Keesokan harinya ibuku berniat untuk mencari pinjaman di bank. Dengan surat tanah milik almarhum ayahku sebagai jaminan. Aku dan ibuku sering ditolak di berbagai bank. Wajarlah kami hanya orang-orang yang sederhana. Baju-baju kami kumal karena semua pakaian dan peralatan habis dilalap api.
Setengah jam berkeliling kota, akhirnya ada suatu bank yang mau percaya dan meminjamkan kami uang. Itu suatu awal yang baik walupun kami hampir putus asa.
“Bu, kita akan apakan pinjaman itu?”
“Sepertinya ibu akan mulai usaha makanan tapi hanya kecil-kecilan saja, yah buat kita makan sehari-hari”, jawab ibu ramah.
Aku bangga dengan ibuku. Beliau begitu baik, perhatian, penyayang, dan sosok yang tegar. Terkadang aku malu juga denagn keadaanku. Tapi aku harus menerima semuanya dengan lapang.
Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat sekarang. Pikiranku seperti tenggelam dalam samudra dan hasrat untuk mancapai cita-citaku melayang di udara makin lama kian jauh.

Jam 4 pagi aku sudah tak biasa tidur. Sehingga aku gunakan untuk mengerjakan PR, belajar, ataupun membersihkan rumah. Sembari mengerjakan PR aku teringat sesuatu.
“Besok aku berulang tahun, mungkin tahun ini aku takkan mendapat hadiah dari ibu seperti tahun-tahun sebelumnya,”gumamku dalam hati.
Tiba-tiba aku terbangun dari lamunanku saat mendengar ibuku memanggilku.
“Fi, ayo bantu ibu buat pisang goring,”seru ibu.
“Sebentar bu, silfi shalat dulu,”tukasku.
“Iya, cepetan gih nanti waktunya habis, setelah itu bantu ibu ya,”jawab ibu
“Sip bu,”sahutku sembari ke tempat berwudhu.
Beberapa menit kemudian, aku memabantu ibu membuat pisang dan ditutup dengan sarapan. Hari ini aku harus pergi sekolah, karena pihak sekolah membantuku dan ibuku denagn memberikan buku-buku pelajaran dan seragam hasil dari sumbangan seikhlasnya.
Seperti biasa pelajaran matematika ada ulangan mendadak sehingga membuat adrenalinku terpacu untuk mengerjakannya secara sempurna. Tiba-tiba Rina mengunjungi kursiku dan melihatkan foto-fotonya saat ia liburan ke Prancis. Rupanya ia ingin bertinggi hati karena baru dia yang pergi ke luar negeri. Aku sih mengiyakan saja tak memperhatikan lagaknya Rina.
Setelah jam pelajaran usai, aku berpikir untuk meneruskan cita-citaku untuk pergi ke luar negeri demi menjadi seorang arsitek. Namun aku belum ada ide untuk itu. Jadi aku hanya bisa menunggu saat yang tepat.
Keesokan harinya, di pagi buta aku dikagetkan sosok ibu.
“Ada apa bu?”jawabku sambil menguap.
“Maaf ya Fi, ibu hanya bisa memberiakan ini. Semoga kamu dapat memanfaatkannya?”jawab ibu.
Kulihat seperti kertas kecil berwarna biru.itu sebuah buku rekening.
“Ibu, ini kan hanya buku rekening?”tanyaku bingung.
“Kelak akan berguna untukmu. Suatu kegiatan yang baik akan menghasilkan manfaat yang baik pula,”jawab Ibu ramah.
Aku tahu maksud ibu untuk aku belajar menabung. Akan membuat aku lebih mandiri terlebih lagi aku akan hidup di negeri orang, aku harus bisa mencukupi kebutuhanku sendiri.
Sejak mendapatkan buku tersebut, aku mulai rajin menyisihkan uang saku dari seribu rupiah sampai dua ribu rupiah setiap hari. Sampai-sampai karyawati yang bekerja di bank itu samapai mengenalaku dengan akrab.
“Selamat siang dek Silfi, mau nabung lagi ya?”tanya beliau sopan dan ramah.
“Iya nih mbak, hari ini saya mau nabung dua ribu?”jawabku sembari menebar senyum.
“Baik, tunggu sebentar ya.”
Kalo dilihat dari jumlah tabunganku, selama setahun aku sudah bisa mengumpulkan Rp.14.565.500,- belum lagi bunga yang kudapat. Lagipula warung ibuku mulai merintis kesuksesan jadi uang sakuku ikut-ikutan naik. Sehingga aku bisa berkunjung ke tempat favoritku, yaitu bank. Benar kata orang dan pepatah mengatakan bahwa rajin menabung pangkal kaya. Beberapa tahap lagi aku bisa memenuhi hasratku untuk ke Prancis. Itu pasti.
Namun kenyataan berkata lain. Roda kehidupan mulai bergerak kembali. Tak selamanya kita berada di atas. Aku terpukul sekali dengan kenyataan ini. Aku rasanya ingin lari tapi kenapa aku tak bisa. Hanya secarik kertas yang kutemui di atas ranjangnya yang tersusun rapi. Kubuka dengan perlahan dan kubaca dengan air mata yang bercucuran.
Silfi anakku, ibu tidak tahu harus berkata apa. Ibu hanya manusia biasa yang kapan saja bisa tiada. Saat engkau membuka surat ini mungkin ibu tidak bersamamu. Ibu harap kamu tegar dan tabah dalam mengarungi kehidupan. Ibu yakin suatu saat kamu bisa mengejar cita-citamu walaupun tanpa ibu. Kejarlah nak, ibu selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu. Jangan lupa shalat dan jaga kesehatanmu baik-baik.
Bibirku terkatup. Rasanya jantung ini mau berhenti berdetak. Tak rela. Aku menangis semalaman. Sekian hari aku tidak mau berbicara pada orang. Mengurung diri dalam kamar.
Ibu meninggal, saat menyebrang ada truk muatan yang melintas tanpa memperhatikan rambu lau lintas. Ibu tertabrak. Padahal ibu hendak menyetorkan uang untuk memasukkan ke rekening ku. Demi mempercepat aku pergi ke Prancis. Entah kenapa aku tidak tahu kabar berita tersebut. Aku tahu berita ini dari Mbak Yani, karyawati bank favoritku. Dan yang kutemukan hanya secarik kertas itu. Itu saja.
Sepeninggal ibuku, aku hidup sendiri. Berusaha menghidupi kebutuhanku sendiri. Walaupun Mbak Yani mau mengangkatku sebagai anak, namun ku tolak secara halus. Aku akan berusaha pergi ke Prancis. Itulah pesan ibuku setelah beliau meninggal.
Di lain pihak tanpa sepengetahuanku, mbak Yani merekomendasikanku untuk mendapatkan beasiswa bagi nasabah tetap. Dan aku terpilih. Aku senang. Namun aku juga sedih harus menerima kenyataan bahwa ibu telah pergi. Jika ibu tahu hal ini, ibu pasti sangat senang dan membuatkanku pisang goreng istimewanya. Namun itu sudah berlalu. Biarkanlah ini termakan oleh waktu.
Aku akan meniti hidup baru. Aku tahu ibu selalu ada dalam hatiku. Berkat mbak Yani, almarhumah ibuku, dan pihak sekolah. Terutama yang paling berjasa dan berarti adalah bank yang mau memberiku beasiswa. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan selain terima kasih. Teriam kasih semuanya.
“Ya Allah, semoga ibuku selalu diberi ketenangan dan selalu berada di dekat-Mu.”
Selama 3 tahun di Prancis, aku menamatkan sekolah. Hidupku bahagia. Apalagi aku telah berkeluarga. Dan tidak lupa aku membuatkan suatu bangunan dengan arsitektur buatanku khusus untuk ibuku yang selalu dalam hatiku dan semua yang berjasa untukku.

No comments: