Tuesday, December 22, 2009

Meniti Jejak Ibu

Hujan belum deras namun angin sangat kencang. Dinginpun mulai menusuk tulang. Tapi cuaca ini tidak mempengaruhiku untuk segera meninggalkan jendela kamarku. Aku senang berdiri di sini. Mengamati banyak hal. Mobil-mobil yang sibuk berpacu di jalan raya sebelah utara, perkampungan kumuh yang sangat kontras dengan lingkungan kami di sebelah timur, juga kanak-kanak yang sibuk berlari-lari di jalan depan rumahku. Dari jendela ini aku bisa menyaksikan semuanya. Termasuk mengulang kembali memori setahun yang lalu.
Seperti saat ini, Ramadan tahun lalu pun aku suka berdiri di jendela ini sambil menunggu waktu berbuka. Tentu aku tidak sendiri. Ada Kak Icha yang selalu di sampingku. Setelah selesai memasak, dia selalu menawarkan diri untuk menemaniku berdiri di jendela ini. Dan aku tidak pernah keberatan. Kak Icha orangnya asyik. Dia sangat pandai berkisah. Mulai dari kisah-kisah teladan yang berlatar belakang agama, kisah-kisah lucu hasil imajinasinya sendiri, juga kisah kehidupan orang lain. Yang penting ada manfaat dari kisah-kisah itu.
Dari sekalian kisah yang pernah dituturkan, perjalanan seorang anak mencari ibu kandungnya-lah yang paling sering diceritakan Kak Icha padaku.
“Dengan harapan untuk bertemu ibunya itulah yang membuat dia mau meninggalkan ayahnya, satu-satunya orang yang paling disayanginya.” Kisahnya suatu senja.
“Ayahnya yang semula kukuh tidak mau melepasnya pergi akhirnya luluh melihat keinginannya yang begitu besar untuk bertemu ibunya. Pada seorang teman, ayahnya menitipkannya agar diantar ke tempat yang dituju. Keinginannya cuma satu; bertemu ibunya.
Tetapi ternyata jalannya berliku. Keluarga teman ayahnya yang semula baik tidak mengizinkan dia pergi. Mereka butuh dia, tepatnya, tenaganya. Karena pada saat dia datang, kebetulan pembantu keluarga itu pergi. Jadilah gadis itu tertahan di sana untuk jangka waktu yang tidak pasti.
Karena teman ayahnya memiliki informasi tentang ibunya, ia mencoba bertahan tinggal di sana walau sebenarnya tidak betah. Namun penantiannya seperti sia-sia. Teman ayahnya tidak pernah memberi tahu apapun tentang ibunya. Maka mulailah dia mencari tahu keberadaan ibunya sambil tetap tinggal di situ. Tapi lambat laun, sikap anak lelaki teman ayahnya itu membuat dia harus pergi.
Suatu malam dia bangun untuk Tahajud. Selesai wudhu dia langsung salat. Gadis itu lupa mengunci pintu kamarnya. Selesai salat dia hanya tertegun mendapati seorang laki-laki duduk di dipannya sambil mengepulkan asap rokok. Anak laki-laki teman ayahnya.
Dengan baik-baik dia meminta laki-laki itu untuk keluar, namun permintaannya tidak digubris. Laki-laki itu hanya menyeringai sambil memainkan kunci dan memasukkan ke kantongnya. Laki-laki itu menuntutnya ‘balas jasa’ karena telah ditampung dengan gratis dalam keluarganya. Sang gadis menolak. Lelaki muda me-radang. Dia melompat, menerkam, seakan ingin menelannya mentah-mentah. Gadis itu membela diri. Dia menendang, mencakar dan berteriak. Semua anggota keluarga rumah itu terbangun. Mendobrak pintu dan mendapati kamar yang berantakan dan dia yang acak-acakan.
Tapi tidak ada yang membelanya. Semua menuduhnya jalang. Dia yang merangsang. Dia yang mengundang. Sebuah tuduhan yang sangat menyakitkan. Sakit hati direndahkan membuat dia memutuskan pergi dari rumah itu malam itu juga, walau tidak tahu harus ke mana.
Nasib baik mengikutinya. Keesokan harinya, di terminal bus dia berkenalan dengan seorang aktivis. Dia diajak ke rumah singgah. Di sana dia menetap beberapa waktu sambil terus mencari informasi tentang ibunya. Sampai akhirnya dia menemukan ibunya di sebuah rumah besar sebagai istri seorang pengusaha. Dia tidak pernah bisa memeluknya – seperti impiannya – karena dia tidak mau merusak keluarga bahagia tersebut.
Rasa untuk bisa berdekatan mendorongnya untuk masuk ke dalam rumah itu. Ia bekerja di sana. Menjadi pembantu di rumah ibunya sendiri. Dia tidak pernah menyesali pilihannya tersebut. Itu adalah satu-satunya cara agar dia bisa bersama-sama ibunya. Sehari-hari dia memasak untuk ibunya, mencuci pakaiannya, membersihkan rumahnya. Melihat perempuan itu tersenyum dan tertawa. Dan dia ikut tertawa walau hatinya menangis. ‘’Dia ingat ayahnya yang tinggal sendirian dengan kondisi fisik yang cacat, sakit-sakitan dan hidup pas-pasan.’’ Kak Icha berhenti bercerita, memandang kosong ke depan dan menyeka air matanya.
Aku tertegun. Kisah yang mengharukan dan aku ikut terombang-ambing di dalamnya. Yang membuat aku heran, Kak Icha selalu menangis setiap bercerita tentang kisah ini tetapi kenapa dia suka mengulang menceritakannya.
Begitulah sepanjang Ramadan. Kami ngabuburit sambil berkisah di jendela kamarku.
Jauh hari sebelum lebaran, Kak Icha pulang kampung. Dia ingin menemui ayahnya yang sakit. Dan ada janji yang harus dia tepatinya pada seseorang, katanya. Entah janji apa. Dia hanya tesenyum saat menyampaikannya. Apapun keadaannya, dia berjanji akan kembali. Kami sangat kehilangan. Kak Icha pribadi yang menyenangkan. Dia sudah seperti keluarga kami sendiri. Kami sama-sama merindukannya. Hingga suatu hari aku menemukan catatan harian Kak Icha di kamar adikku.
Waktu itu adikku masuk kamar Kak Icha untuk sembunyi dari Hani, teman bermainnya hari itu. Ketika Hani menemukannya, mereka melanjutkan permainan di kamar itu. Mereka saling melempar bantal. Ketika itulah sesuatu melayang dari dalam sarung bantal. Sebuah catatan harian! Adikku memungutnya. Dengan alasan tertarik dia menyimpannya dan ingin membacanya sampai tuntas sebelum Kak Icha kembali.
Keingintahuan inilah yang menjadi awal petaka di rumah kami. Ternyata kisah yang selama ini diceritakan padaku adalah kisahnya sendiri. Dia meninggalkan ayahnya untuk mencari ibunya yang telah meninggalkannya sejak kecil. Dan dia telah menemukannya. Ibunya adalah mamaku!
Papa tidak bisa menerima semua ini. Walau mama sudah minta maaf, papa tetap merasa dibodohi oleh kebohongan mama selama ini. Sebelum menikah mama memang mengaku janda. Tapi tanpa anak. Kenapa sekarang muncul Kak Icha sebagai anak mama? Papa tetap tidak terima sekalipun mama mengaku terpaksa berbohong karena ingin menutup masa lalunya. Suami pertamanya cacat fisik setelah jatuh dalam sumur ketika memperbaikinya. Mama tidak sanggup hidup miskin dan mengurus suami yang sakit-sakitan.

Sejak itu rumah kami tidak lagi nyaman. Sehari-hari selalu terdengar teriakan papa. Papa jengkel pada mama dan kami ikut kena imbasnya. Kadang papa meradang tak karuan. Menendang ini, menendang itu. Mama sesekali juga balas berteriak. Kami – anak-anak – menjadi penonton yang tidak tahu harus berkomentar apa. Anehnya, walaupun semua keributan ini disebabkan adanya Kak Icha dalam keluarga kami, aku tetap merindukannya. Bukankah dia sudah berusaha menyembunyikan identitasnya selama ini. Atau aku rindu padanya karena kami bersaudara. Entahlah.
Tak sampai seminggu sejak kejadian itu, Kak Icha sudah kembali. Dia ingin lebaran bersama kami, katanya di telepon. Ketika turun dari ojek, di depan rumah kami, Kak Icha langsung melambai pada aku dan mama yang duduk di teras sore itu. Dia tersenyum seperti biasa. Aku gugup dan tidak balas melambai walau sangat ingin. Mama menjadi kaku seperti batu. Aku membayangkan mama akan memeluk Kak Icha dan minta maaf padanya. Waktu aku berpaling menatap mama, yang kudapati justru wajahnya semakin menegang seakan mau pitam.
“Assalaamualaikum, Bu…” Kak Icha mengulurkan tangannya. Ketika melihat mama bangkit, aku yakin mama akan memeluknya. Perkiraanku meleset. “Plak!” Mama menampar Kak Icha. Gadis itu meringis sambil memegangi pipinya. Aku terkejut hingga spontan menutup mulut.
“Kamu pikir kehadiranmu di sini akan membuat aku bahagia? Tidak Icha! Kamu hanya masa laluku yang sudah kukubur dalam-dalam. Kenapa kamu datang ke sini? Mau menghancurkan keluargaku? Sekarang pergi! Pergi…!”
Mama marah-marah, menyumpah-nyumpah. Kak Icha yang semula bingung mulai paham dengan keadaan. Sambil menangis dia memeluk kaki mama, “Ini Icha, Bu. Anak ibu! Setelah ini Icha akan pergi dari kehidupan ibu. Icha hanya ingin ibu datang saat…”
Belum selesai dia berkata-kata, mama menjambaknya. Mendorong tubuhnya ke halaman. Lalu masuk ke dalam dan kembali lagi dengan kardus berisi barang-barang Kak Icha. Sambil melemparkan diary Kak Icha, mama kembali berteriak, “Pergi dari sini. Ingat! Kamu hanyalah bagian dari masa laluku! Aku tidak ingin kamu datang lagi dan merusak kehidupanku. Kamu… kamu hanya anak seorang laki-laki miskin yang tidak bisa memberiku apa-apa!”
Aku hanya terdiam. Tidak menyangka mama akan berucap seperti itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebelum pergi, Kak Icha meninggalkan sesuatu.
* * *
Satu tahun sudah berlalu. Mama dan papa tidak pernah akur lagi walau mereka juga tidak bercerai. Dan aku masih merindukan Kak Icha. Senyumnya, perhatian-perhatiannya padaku, juga kisah-kisah yang dulu sering dituturkan. Aku ingin Ramadan kali ini Kak Icha ada di sini. Tapi itu jelas tidak mungkin. Aku kembali memperhatikan undangan pernikahan yang ada di tanganku. Undangan ini ditinggalkan Kak Icha sewaktu mama mengusirnya. “Icha hanya ingin ibu datang pada hari pernikahan Icha…” Itu kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum dia pergi. Dan mama benar-benar tak pernah datang. Mama benar-benar telah menghapus Kak Icha dari hidupnya.***
Zurnila Emhar Ch,
sedang belajar menulis
di Sekolah Menulis Paragraf.


Namun perasaan ragu selalu mendera hatiku. Akankah Adit punya perasaan yang sama denganku. Aku tidak mengenal baik Adit. Aku setahun lebih tua darinya. Status sosial keluargaku dan keluarga Adit bagaikan langit dan bumi. Ayah Adit seorang pengusaha sukses dan ibunya seorang guru. Sedangkan keluargaku adalah keluarga termiskin. Ayah tiada sejak aku masih kelas 1 SD. Ibuku kemudian berjualan kue-kue untuk menghidupi kami yang sehari hanya menghasilkan uang sekitar limabelasan ribu. Aku juga sering membantu menjualkan kue-kue ibuku ke sekolah. Namun semua itu belum cukup untuk membiayai ibu dan kami, empat bersaudara. Aku sendiri pernah diusir dari kelas karena belum membayar uang bulanan sekolah selama tiga bulan. Karena kondisi itu aku menjadi seorang yang pendiam dan rendah diri.
Kemarin tanpa sengaja aku bertemu dengan Doni ketika pulang sekolah. Doni adalah sahabat Adit sejak SD. Jika Adit adalah seorang yang pendiam, Doni seorang cowok yang supel. Hampir semua orang mengenalnya. Dengan senang hati Doni menawarkan boncengan motornya dan mengantarkanku sampai rumah. Di jalan Doni bercerita:
“Mbak, kemarin Adit cerita kalau dia sebenarnya naksir sama cewek di desa kita juga ini lho,” cerita Doni memanggilku dengan embel-embel Mbak, tradisi di desa kami untuk menghormati orang yang usianya lebih tua.
”Yang bener aja, Don? Emangnya siapa?” “Tak tahu juga mbak, Adit tak sebut nama,” “Iyakah? Tapi di desa kita ini ‘kan banyak ceweknya?”.
“Iya juga ya mbak, and….kira kira siapa ya? Hayooo siapa………..?”
“Ooi oi siapa dia oh siapa dia,” Doni malah menyanyi seperti pembawa acara Kuis Siapa Dia di TVRI waktu kami kecil dulu.
Aku hanya bisa tersenyum kecil, namun tak urung percakapan tadi membuat aku punya harapan. Tapi, ah tak mungkin masih banyak teman-temanku yang lebih pantas untuk dijatuhin cinta sama Adit. Meski kami satu sekolah tapi di sekolah pun aku hanya bisa menatap Adit dari jauh, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan Adit di kantin, di perpustakaan atau ketika sama-sama nonton pertandigan olahraga di lapangan sekolah, Adit tak pernah berusaha menyapaku. Kalau aku menyapa Adit duluan, tengsin ah. Aku masih berharap Adit yang memulainya.
Hari sudah beranjak sore, ketika kudengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Segera kubuka pintu setelah terdengar ketukan. Ternyata Doni dan….Adit. Doni mau meminjam soal-soal ulangan umum sekolah. Kukernyitkan dahiku, aku heran, untuk apa bukankah dia lain sekolah denganku?.
“Ehm….tenang mbak, tenang. Bukan untuk aku ko, Mbak. Itu tu untuk Adit,” kata Doni seperti mengetahui keherananku. Kenapa sih tak mau bilang sendiri, toh udah di sini. Batinku agak kesal.
“Boleh kan Mbak, Mbak Tari yang baik…?” Aku melirik Adit yang hanya tersenyum tipis. Aku segera masuk rumah, dan mengambil lembaran soal-soal ulangan umum yang selalu kusimpan rapi tiap semesternya. Ketika kuberikan lembaran-lembaran itu, kubilang sama Doni agar nanti Adit yang mengembalikan sendiri. Doni hanya mengangguk.
****
Siang itu, ketika aku sedang ngobrol dengan temanku di halte, tiba-tiba …gedubrak….. terdengar suara seperti tabrakan. Kami terkejut, terlihat seorang pengendara motor yang nampak kesakitan jatuh terlempar beberapa senti dari motornya. Aku dan temanku segera menghampirinya. Orang-orang pun segera berhamburan menengoknya. Seketika jalan menjadi macet total. Beberapa orang segera mengangkat tubuh yang kesakitan itu ke halte. Kulihat darah keluar dari pelipis kanan dan siku tangan kanannya, dan ternyata dia adalah Adit. Namun tak lama polisi datang membubarkan kerumunan dan segera membawa Adit ke rumah sakit terdekat. Aku dan temanku menemaninya tanpa diminta.
Sesampainya di rumah sakit, Adit dibawa ke ruang gawat darurat. Polisi meminta sedikit informasi mengenai Adit. Aku mengatakan Adit adalah tetanggaku dan segera memberikan alamatnya. Polisi akan segera menghubungi pihak keluarga Adit. Lima menit kemudian temanku meminta pamit karena sudah terlambat pulang. Meski aku keberatan, kuanggukkan juga kepalaku.
Satu jam kemudian Adit di bawa ke ruang perawatan. Ruang itu terdiri dari empat tempat tidur ditata berjajar yang hanya dipisahkan oleh tirai putih. Adit mendapatkan tempat di dekat jendela. Kulihat Adit masih tertidur ketika perawat meninggalkan kami. Kamar ini hanya berisi aku dan Adit. Aku duduk di ranjang pasien sebelah tempat tidur Adit. Kutatap wajah Adit yang bagian pipinya masih lebam, pelipis dan tangannya dibalut perban, baju seragamnya telah berganti baju seragam rumah sakit. Kulirik jam tangan Adit, sudah hampir pukul 3 sore. Ke mana ya keluarga Adit, batinku. Aku turun dikursi dan kutelungkupkan kepalaku di ranjang. Di ruangan AC begini aku merasa ngantuk sekali.
Aku terkejut ketika perawat masuk membawakan obat untuk Adit, segera kuusap mukaku dan sedikit kurapikan rambutku. Kutengok Adit sudah terbangun, dan segera meminum obat yang dibawa perawat itu. Perawat kembali pergi setelah kuucapkan terimakasih kepadanya. Kami sama-sama saling terdiam tak tahu harus berkata apa. Beberapa menit berlalu, kucoba memecahkan kekakuan ini.
”Dit, gimana rasanya, apa sudah baikan?” tanyaku lirih, agak salah tingkah sambil kusandarkan badanku ke dinding jendela. “Lumayan Mbak, Mbak dari tadi nungguin aku ya?” tanya Adit lemah.
Aku hanya mengangguk. Kami sama sama terdiam lagi, meski aku sangat senang berada di sini bersama Adit, tapi rasanya lidah ini kaku untuk mengajaknya bicara.
“Oya, ke mana Ibu Adit ya, kok sampai sekarang belum datang juga. Tadi polisi menjemput ke rumahmu lho?” tanyaku sambil memainkan kakiku dengan sesekali menatap kepada Adit.
“Mungkin di rumah tak ada orang, Mbak. Ibu setiap hari ada jadwal kuliah. Biasanya sih pulang jam setengah enam. Adikku juga les bahasa Inggris. Paling Mbok Warti yang biasa bantu kami bersih-bersih rumah,” jawab Adit dengan lemah sambil memalingkan wajahnya sedikit ke arahku. Aku hanya bisa mengangguk-angguk dan kembali terdiam.
Ketika senja sudah beranjak pergi, kudengar langkah tergesa memasuki kamar. Ayah dan ibu Adit yang kelihatan sangat mencemaskan Adit, segera menghampirinya yang terbaring lemah. Baru setelah itu ibu menoleh kepadaku dan mengucapkan terima kasih. Tak lama berselang Doni datang dengan kecemasan juga, Doni tersenyum padaku sebelum menyapa Adit. Wah untung ada Doni, bisa minta tolong nganterin aku pulang. Aku sudah capek dan lapar, dan pasti ibu juga khawatir banget aku telat pulangnya. Segera kuberbisik pada Doni untuk mengantarku pulang. Dan ternyata Doni mengiyakannya. Aku segera berpamitan pada ayah ibu yang tak henti mengucapkan terimakasih kepadaku karena sudah menemani Adit, begitu juga Adit dengan diiringi senyum manisnya.
***
Seminggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu, di suatu sore ketika aku sedang memarut kelapa di dapur bersama ibu, terdengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Aku segera keluar setelah mendengar pintu rumahku diketuk. Adit, dia memberikan kue tart coklat yang cantik yang biasanya hanya bisa kutengok di etalase toko roti, sebagai rasa terimakasih dari keluarganya. Kata Adit, itu bikinan ibunya. Satu lagi, dia mengembalikan soal-soal ulangan umum yang dulu pernah dipinjamnya bersama Doni.
“Mbak ini sesuai janji Doni, kalau aku yang akan mengembalikannya sendiri,” kata Adit sambil menyodorkan soal-soal ulangan umum itu dan menatapku penuh arti. Aku salah tingkah, seumur-umur aku belum pernah ditatap orang seperti itu. Tatapan yang membuat aku besar kepala. Tapi Adit langsung berpamitan. Dan ketika akan kuletakkan kumpulan lembaran soal-soal itu sebuah kertas berlipat jatuh dari sela-selanya, mungkin punya Adit yang terselip di lembaran ini. Segera kuambil dan kubuka, kubaca tulisan di dalamnya

1 comment:

Anonymous said...

bagus kog ceritanya